Suatu ketika pada 1960-an, Honduras dan El Salvador berperang menyusul satu pertandingan sepak bola antara kedua negara bertetangga tersebut. Itulah kali pertama sepak bola masuk ke ranah politik yang memiliki konsekuensi serius.
Perkembangan sepak bola setelah itu diupayakan menghindarkan konflik. FIFA pun mengatur pembagian jatah tuan rumah secara sederhana. Dua kekuatan utama sepak bola dunia, Eropa (Barat) dan Amerika Selatan atau Amerika Tengah mendapatkan giliran bergantian.
Oleh karena itu, ketika Piala Dunia 1966 digelar di Inggris, Piala Dunia 1970 dilaksanakan di Meksiko. Tahun 1974, Piala Dunia kembali ke Eropa di Jerman (Barat). Setelah Argentina (1978), Spanyol (1982) mendapat kesempatan, kemudian giliran Meksiko (1986) diikuti Italia (1990), AS (1994), dan Prancis (1998). Pada saat itu FIFA sudah dipimpin duet Joao Havelange (Brasil) dan Sepp Blatter (Swiss).
Duet ini menginginkan kawasan baru bagi Piala Dunia dan Jepang-Korsel ditunjuk jadi tuan rumah Piala Dunia 2002. Pada saat itulah kemapanan negara-negara Eropa dan Amerika Selatan mulai terusik. Jika tadinya hanya dua kawasan, kini jadi tiga kawasan. Dan, saat Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, negara-negara Eropa Barat semakin gerah. Peluang mereka menggelar Piala Dunia semakin tipis.
Di antara negara Eropa Barat yang paling gerah adalah Inggris. Maklumlah, mereka punya kompetisi antarklub terbaik dunia. Kapasitas dan kualitas stadion mereka istimewa. Lagi pula mereka didukung perekonomian dalam negeri yang kokoh. Di atas segalanya, ketika Inggris menggelar kampanye Piala Dunia 2018, mereka merasa punya hak tak tertulis.
Sudah lama sepak bola modern diyakini berasal dari Inggris. Kali ini mereka ingin sepak bola pulang kandang seperti saat Piala Eropa 1996. Fakta lain yang mereka sodorkan, Piala Dunia terakhir di Inggris digelar pada 1966. Sedangkan Jerman setelah 1974 sudah mendapat jatah berikutnya yaitu pada 2006.
Wajarlah negara-negara Eropa Barat terutama Inggris merasa setelah Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dan 2014 di Brasil, tahun 2018 adalah giliran mereka. Sayangnya, FIFA tak sependapat. Setelah Michel Platini memimpin Uni Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA), kawasan Eropa Timur mulai dirambah.
UEFA memberikan peluang lebih banyak bagi klub Eropa Timur di Liga Champions. Dan FIFA diberi keyakinan sudah saatnya Piala Dunia digelar di Eropa Timur. Bagi Sepp Blatter yang sudah menggantikan Joao Havelange sebagai Presiden FIFA, Eropa Timur adalah kawasan baru. Demikian pula kawasan Timur Tengah, di mata FIFA, lewat Qatar yang beminat menggelar Piala Dunia 2018.
Nilai plus sebagai kawasan baru itu rupanya punya poin tinggi di mata FIFA. Konsep mereka menyepakbolakan dunia lewat Piala Dunia mau tak mau harus "makan korban". Kali ini Inggris, Spanyol/Portugal, Belanda/Belgia (2018), Australia dan AS (2022) yang gigit jari. Komite Eksekutif (Exco) FIFA memilih Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022.
Di mata Eropa Barat terutama Inggris, FIFA sangat dicurigai bersifat korup. Apalagi Rusia dan Qatar didukung uang berlimpah dari minyak bumi dan gas bumi.
Penunjukan FIFA makin bias setelah Qatar diketahui tak mungkin menggelar Piala Dunia bulan Juni dan Juli. Iklim mereka dengan suhu mendekati 45 derajat Celcius tak bersahabat. Penguasa dan pengusaha negeri berpenduduk 1,7 juta jiwa itu menawarkan stadion full AC pada Piala Dunia 2022.
Lebih kontroversial lagi ketika Platini memikirkan menghentikan kompetisi Liga Eropa pada Desember dan Januari untuk pelaksanaan Piala Dunia 2022. Tak heran ketika Presiden AS Barrack Obama ikut menyalahkan penunjukan Qatar oleh FIFA.
PM Inggris David Cameron dan Pangeran Williams juga kecewa setelah melakukan presentasi yang dipuji Blatter dengan istilah "luar biasa". Apakah FIFA memang korupsi seperti dituding negara Eropa Barat? Sukar membuktikannya meski BBC dan Sunday Times sudah mengupas sisi buruk FIFA lewat investigasi mereka.
Yang paling sederhana, langkah FIFA serta negara-negara calon tuan rumah Piala Dunia bisa dipahami sebagai perkawinan politik dan sepak bola. Kalau sepak bola bersanding dengan politik tentu saja masalahnya hanya kepentingan. Sisi ini tentu sangat relatif, tetapi FIFA tetap punya tugas menyelamatkan prestasi sepak bola yang jadi roh perkawinan ini.
Perkembangan sepak bola setelah itu diupayakan menghindarkan konflik. FIFA pun mengatur pembagian jatah tuan rumah secara sederhana. Dua kekuatan utama sepak bola dunia, Eropa (Barat) dan Amerika Selatan atau Amerika Tengah mendapatkan giliran bergantian.
Oleh karena itu, ketika Piala Dunia 1966 digelar di Inggris, Piala Dunia 1970 dilaksanakan di Meksiko. Tahun 1974, Piala Dunia kembali ke Eropa di Jerman (Barat). Setelah Argentina (1978), Spanyol (1982) mendapat kesempatan, kemudian giliran Meksiko (1986) diikuti Italia (1990), AS (1994), dan Prancis (1998). Pada saat itu FIFA sudah dipimpin duet Joao Havelange (Brasil) dan Sepp Blatter (Swiss).
Duet ini menginginkan kawasan baru bagi Piala Dunia dan Jepang-Korsel ditunjuk jadi tuan rumah Piala Dunia 2002. Pada saat itulah kemapanan negara-negara Eropa dan Amerika Selatan mulai terusik. Jika tadinya hanya dua kawasan, kini jadi tiga kawasan. Dan, saat Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, negara-negara Eropa Barat semakin gerah. Peluang mereka menggelar Piala Dunia semakin tipis.
Di antara negara Eropa Barat yang paling gerah adalah Inggris. Maklumlah, mereka punya kompetisi antarklub terbaik dunia. Kapasitas dan kualitas stadion mereka istimewa. Lagi pula mereka didukung perekonomian dalam negeri yang kokoh. Di atas segalanya, ketika Inggris menggelar kampanye Piala Dunia 2018, mereka merasa punya hak tak tertulis.
Sudah lama sepak bola modern diyakini berasal dari Inggris. Kali ini mereka ingin sepak bola pulang kandang seperti saat Piala Eropa 1996. Fakta lain yang mereka sodorkan, Piala Dunia terakhir di Inggris digelar pada 1966. Sedangkan Jerman setelah 1974 sudah mendapat jatah berikutnya yaitu pada 2006.
Wajarlah negara-negara Eropa Barat terutama Inggris merasa setelah Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dan 2014 di Brasil, tahun 2018 adalah giliran mereka. Sayangnya, FIFA tak sependapat. Setelah Michel Platini memimpin Uni Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA), kawasan Eropa Timur mulai dirambah.
UEFA memberikan peluang lebih banyak bagi klub Eropa Timur di Liga Champions. Dan FIFA diberi keyakinan sudah saatnya Piala Dunia digelar di Eropa Timur. Bagi Sepp Blatter yang sudah menggantikan Joao Havelange sebagai Presiden FIFA, Eropa Timur adalah kawasan baru. Demikian pula kawasan Timur Tengah, di mata FIFA, lewat Qatar yang beminat menggelar Piala Dunia 2018.
Nilai plus sebagai kawasan baru itu rupanya punya poin tinggi di mata FIFA. Konsep mereka menyepakbolakan dunia lewat Piala Dunia mau tak mau harus "makan korban". Kali ini Inggris, Spanyol/Portugal, Belanda/Belgia (2018), Australia dan AS (2022) yang gigit jari. Komite Eksekutif (Exco) FIFA memilih Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022.
Di mata Eropa Barat terutama Inggris, FIFA sangat dicurigai bersifat korup. Apalagi Rusia dan Qatar didukung uang berlimpah dari minyak bumi dan gas bumi.
Penunjukan FIFA makin bias setelah Qatar diketahui tak mungkin menggelar Piala Dunia bulan Juni dan Juli. Iklim mereka dengan suhu mendekati 45 derajat Celcius tak bersahabat. Penguasa dan pengusaha negeri berpenduduk 1,7 juta jiwa itu menawarkan stadion full AC pada Piala Dunia 2022.
Lebih kontroversial lagi ketika Platini memikirkan menghentikan kompetisi Liga Eropa pada Desember dan Januari untuk pelaksanaan Piala Dunia 2022. Tak heran ketika Presiden AS Barrack Obama ikut menyalahkan penunjukan Qatar oleh FIFA.
PM Inggris David Cameron dan Pangeran Williams juga kecewa setelah melakukan presentasi yang dipuji Blatter dengan istilah "luar biasa". Apakah FIFA memang korupsi seperti dituding negara Eropa Barat? Sukar membuktikannya meski BBC dan Sunday Times sudah mengupas sisi buruk FIFA lewat investigasi mereka.
Yang paling sederhana, langkah FIFA serta negara-negara calon tuan rumah Piala Dunia bisa dipahami sebagai perkawinan politik dan sepak bola. Kalau sepak bola bersanding dengan politik tentu saja masalahnya hanya kepentingan. Sisi ini tentu sangat relatif, tetapi FIFA tetap punya tugas menyelamatkan prestasi sepak bola yang jadi roh perkawinan ini.
kebanyakan sekarang sepakbola menjadi nilai bisnis.. terutama di negara kita ini..
ReplyDelete