Banyak  orang ke pantai di Pulau Dewata, ya, liburan menikmati ombak  sampai  menikmati  terbenamnya matahari. Namun, bagi Made Sutamaya (43)  tidak  hanya itu. Pergi ke pantai adalah berlibur dan mencari sampah,  lalu  menyulapnya menjadi kerajinan tangan bernilai jutaan rupiah bagi   dirinya.  
Delapan tahun lalu, Sutamaya  tak sengaja memandangi  tumpukan sampah itu. Banyak sekali potongan kayu  hingga  ranting-ranting. Menumpuk bak gunung kecil. Tiba-tiba, ia pun  berpikir  bagaimana agar yang terbuang itu menjadi sesuatu yang  bermanfaat serta  menjual. 
Bahan ada, gratis, serta ramah  lingkungan pula! Itu  katanya sambil memandangi sampah ranting saat itu.  Namun, pria  kelahiran Singaraja, Bali, ini belum tahu juga bahan yang  ada ini akan  diolah seperti apa. 
Bermodal nekat, ia pun memungut  sampah  kayu-kayu itu sebanyak dua kantong plastik berukuran sedang,  kemudian  dibawa ke rumah yang sekaligus galerinya, Kioski. Dalam waktu  sehari,  ia pun menemukan ide. Bapak empat anak ini pun membongkar pasang   ranting-ranting hasil penemuannya di pantai itu. 
”Saya   menjadikan ranting- ranting ini menghiasi pinggiran kaca rias berukuran   60 cm x 100 cm. Besoknya langsung laku terjual sekitar Rp 200.000.   Pembelinya orang asing yang biasa membeli mebel di toko saya ini.   Bahkan, ia meminta saya membuat lagi model yang sama dan model-model   lainnya,” tutur Sutamaya bersemangat. 
Ini peluang! Sutamaya pun   semangat mencari ide-ide untuk model barunya. Setiap hari ia pun mulai   bongkar pasang dan mendesain sendiri hiasan kaca rias, hiasan dinding,   sampai meja. Harganya bervariasi, mulai dari ratusan ribu rupiah sampai   jutaan rupiah. Wajar, semua menggunakan tenaga tangan manusia, alias   kerajinan tangan murni. 
Ranting-ranting itu sama sekali tidak ada   sentuhan lain, kecuali paku kecil dan sedikit perekat. ”Semua ranting   tidak ada yang sengaja saya patahkan, saya membiarkannya alami. Saya   hanya membutuhkan semacam konstruksi di dalamnya sebagai dasar   bentuknya,” katanya. 
Tentu saja proses pembuatannya rumit dan   membutuhkan kecermatan. Bagaimana membentuk dan merekatkan ranting itu   satu dengan lainnya agar tidak lepas perlu kelihaian tersendiri.   Kalaupun menggunakan paku,  hampir tidak terlihat sama sekali. Kesan   alami juga muncul ketika kerajinan hiasan dinding, seperti bentuk ikan,   tidak diolesi cat pelapis kayu. 
Ketekunannya pun membawa hasil.  Kini omzetnya sudah  lebih dari Rp 100 juta per bulan. Dia juga sudah  mengekspor produknya ke beberapa negara di Eropa. 
Setiap  bulan  ia mampu mengumpulkan sedikitnya satu truk setoran sampah pantai.  Ia  hanya menerima setoran ranting-ranting kayu. Selanjutnya, Sutamaya   menyortir ranting-ranting itu dari yang kecil hingga besar atau   kebetulan menemukan ranting berbentuk, lalu dicuci bersih dan dijemur.   Setelah benar-benar kering, sampah ranting ini siap untuk dirakit. 
Bagi   Sutamaya, untuk merakit hiasan dinding berbentuk ikan berukuran  panjang  sekitar 40 cm dan lebar 20 cm, ia hanya membutuhkan waktu tidak  lebih dari dua  jam. Ia sudah semakin terbiasa. ”Ya, seni itu kan  menggunakan rasa dan  estetika. Jadi, perasaan itu terlibat banyak demi  keindahan,” tuturnya. 
Sekarang  ini ia memiliki 80 pekerja yang  khusus mencari dan memunguti sampah  kayu di semua pantai Bali. Ia pun  tidak sungkan mencari bahan sampai ke  pantai-pantai di Pulau Jawa. 
Pekerja  yang membantunya menyusun  kayu hingga berbentuk berjumlah sekitar 40  orang. ”Saya mempekerjakan  warga desa di Singaraja. Biar mereka tidak  silau bekerja di perkotaan  saja. Soal hasil finalnya, tetap saya yang  mengerjakannya,”  katanya. 
Kerajinan  tangannya itu ada yang  berbentuk ikan atau hiasan meja berbentuk kuda,  bebek, atau hiasan  untuk lampu meja. Ia pun membuat kerajinan tangan  berbentuk sapi, kuda,  atau jerapah berukuran sama dengan aslinya.  Replika binatang dari  ranting-ranting untuk dekorasi luar ruangan itu  harganya mulai Rp 6  juta. 
Ia mengaku tak masalah jika karyanya  ini mulai banyak  ditiru, tetapi konsumennya tetap bisa membedakan mana  buatannya. Karena  itu, menjadi tantangan bagi dirinya agar terus  berkembang setiap hari  dengan model dan gaya yang terus baru. Namun, ia  menggelengkan  kepalanya ketika pembicaraan menyinggung pengurusan hak  kekayaan  intelektual (HKI). 
”Ah, sudahlah. Saya tidak perlu lagi   mendaftarkan semua karya saya. Saya juga tidak bisa menuntut apa pun   ketika karya orang lain mirip itu. Kemiripan itu bisa saja diartikan ada   yang berbeda. Kita tidak bisa menuntut apa pun meski ide dasarnya  sama.  Jadi rugi, sudah membayar mahal karena semua karya harus  didaftar,”  ujar Sutamaya. 
Jauh sebelum menjadi jutawan dan  dianggap orang  yang menemukan dan menjual ide dengan memanfaatkan  sampah ranting kayu  dari pantai, ia hanyalah karyawan sebuah galeri di  Ubud. Perantauannya  menjadi karyawan dari Singaraja ke Ubud yang  berjarak sekitar 100  kilometer itu tak bertahan lama. Ia pun mencoba  membuka galeri sendiri.  Karena sewanya makin mahal, sekitar tahun 2000,  Sutamaya pun pindah ke  Badung. 
Menurut dia, lokasi yang  ditinggalinya sekarang ini sudah  jadi miliknya dan lebih strategis.  ”Buktinya, saya mendapatkan ide  merakit ranting ini setelah berada di  sini. Saya bersyukur sekali kepada  Tuhan,” ujarnya. 
Ia pun sudah  masuk menjadi anggota Asosiasi  Mebel Indonesia (Asmindo) Bali. Selain  itu, Sutamaya yang selalu dibantu  dan didukung oleh istri dan  keluarganya itu juga bangga bisa membawa  nama Bali di pameran Pekan  Raya Jakarta (PRJ) mulai tahun 2004 setiap  tahun hingga sekarang. 
Hingga  kini ia terus konsisten menjaga  alam. Ia terus memanfaatkan sampah  yang setiap hari mengotori pantai. Ia  juga berharap apa yang  dilakukannya ini dapat dicontoh anak-anaknya.