Meluasnya lokasi daerah rawan bencana di seputar Gunung Merapi menimbulkan persoalan baru yang harus segera dipecahkan pemerintah daerah dan pusat. Radius bahaya yang diperluas menjadi 20 kilometer menyebabkan ledakan pengungsi di tempat-tempat penampungan serta eksodus sebagian warga Yogyakarta ke luar kota. Sampai akhir pekan, tercatat 203.568 warga menjadi pengungsi.
Kita mafhum, bahaya erupsi Gunung Merapi tidak hanya datang dalam bentuk awan panas (wedhus gembel), aliran lava panas maupun banjir lahar dingin, melainkan juga dari debu-debu yang keluar setiap kali gunung itu batuk. Hal-hal itulah yang coba dihindari sejumlah warga Yogyakarta dengan mengungsi ke rumah sanak kadangnya di kota lain.
Pekan lalu, harian ini pernah menurunkan laporan bahayanya jika debu atau abu vulkanik Gunung Merapi terhirup manusia. Disebutkan, 57 persen materi penyusunnya merupakan silika oksida (SiO2). Risiko infeksi saluran napas akut (ISPA) dan iritasi mata membuat sejumlah pakar kesehatan menekankan pentingnya penggunaan masker setiap kita keluar rumah. Soalnya, letusan dahsyat Gunung Merapi dan embusan angin ke barat membuat abu vulkanik Gunung Merapi terbang hingga Provinsi Jawa Barat. Beberapa wilayah Jabar yang terkena imbas abu Gunung Merapi seperti Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar, bahkan sampai mengalami kekosongan stok masker. Rupanya, prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati itulah yang membuat sejumlah warga Yogyakarta memilih bermigrasi ke luar daerah.
Oleh karena itu, kita sangat prihatin dengan keadaan ratusan ribu pengungsi yang terpaksa tinggal di barak-barak pengungsian yang lokasinya masih dekat dengan Gunung Merapi. Mereka terpaksa hidup di bawah ancaman kerusakan saluran pernapasan. Selain itu, sebagian dari mereka juga terlambat atau bahkan tidak mendapat bantuan logistik dengan alasan tinggal di posko pengungsian tidak resmi.
Kita sangat menyayangkan adanya perbedaan perlakuan seperti ini dalam penanganan pascabencana. Resmi ataupun tidak resmi, di tempat-tempat penampungan itu berdiam juga saudara-saudara kita yang membutuhkan bantuan. Bagi mereka, tinggal di barak-barak pengungsian bukanlah pilihan. Oleh karena itu, membeda-bedakan bentuk pelayanan merupakan pengabaian yang tidak termaafkan dan pelanggaran hak asasi.
Dengan masih berlanjutnya erupsi Merapi, kita bisa memperkirakan jumlah pengungsi akan terus bertambah. Dalam kondisi darurat semacam ini, yang kita butuhkan adalah tempat-tempat penampungan baru yang lebih jauh dari lokasi bencana dan pengiriman bantuan logistik -- termasuk masker-- yang lebih banyak.
Tentu saja kita menuntut pemerintah pusat dan daerah untuk lebih lincah bergerak karena melindungi pengungsi adalah kewajiban negara. Tugas berat lainnya adalah membangun kembali permukiman warga yang rusak terkena bencana dan menjaga keamanan rumah-rumah yang ditinggalkan warga dari kemungkinan penjarahan dan aksi kejahatan lain.
Kita mafhum, bahaya erupsi Gunung Merapi tidak hanya datang dalam bentuk awan panas (wedhus gembel), aliran lava panas maupun banjir lahar dingin, melainkan juga dari debu-debu yang keluar setiap kali gunung itu batuk. Hal-hal itulah yang coba dihindari sejumlah warga Yogyakarta dengan mengungsi ke rumah sanak kadangnya di kota lain.
Pekan lalu, harian ini pernah menurunkan laporan bahayanya jika debu atau abu vulkanik Gunung Merapi terhirup manusia. Disebutkan, 57 persen materi penyusunnya merupakan silika oksida (SiO2). Risiko infeksi saluran napas akut (ISPA) dan iritasi mata membuat sejumlah pakar kesehatan menekankan pentingnya penggunaan masker setiap kita keluar rumah. Soalnya, letusan dahsyat Gunung Merapi dan embusan angin ke barat membuat abu vulkanik Gunung Merapi terbang hingga Provinsi Jawa Barat. Beberapa wilayah Jabar yang terkena imbas abu Gunung Merapi seperti Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar, bahkan sampai mengalami kekosongan stok masker. Rupanya, prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati itulah yang membuat sejumlah warga Yogyakarta memilih bermigrasi ke luar daerah.
Oleh karena itu, kita sangat prihatin dengan keadaan ratusan ribu pengungsi yang terpaksa tinggal di barak-barak pengungsian yang lokasinya masih dekat dengan Gunung Merapi. Mereka terpaksa hidup di bawah ancaman kerusakan saluran pernapasan. Selain itu, sebagian dari mereka juga terlambat atau bahkan tidak mendapat bantuan logistik dengan alasan tinggal di posko pengungsian tidak resmi.
Kita sangat menyayangkan adanya perbedaan perlakuan seperti ini dalam penanganan pascabencana. Resmi ataupun tidak resmi, di tempat-tempat penampungan itu berdiam juga saudara-saudara kita yang membutuhkan bantuan. Bagi mereka, tinggal di barak-barak pengungsian bukanlah pilihan. Oleh karena itu, membeda-bedakan bentuk pelayanan merupakan pengabaian yang tidak termaafkan dan pelanggaran hak asasi.
Dengan masih berlanjutnya erupsi Merapi, kita bisa memperkirakan jumlah pengungsi akan terus bertambah. Dalam kondisi darurat semacam ini, yang kita butuhkan adalah tempat-tempat penampungan baru yang lebih jauh dari lokasi bencana dan pengiriman bantuan logistik -- termasuk masker-- yang lebih banyak.
Tentu saja kita menuntut pemerintah pusat dan daerah untuk lebih lincah bergerak karena melindungi pengungsi adalah kewajiban negara. Tugas berat lainnya adalah membangun kembali permukiman warga yang rusak terkena bencana dan menjaga keamanan rumah-rumah yang ditinggalkan warga dari kemungkinan penjarahan dan aksi kejahatan lain.
tugas pemerintah nih. masih untung banyak warga yg mau membantu. tapi kan gakbisa bantu terlalu banyak. mesti koordinasi dg baik dg pemerintah
ReplyDeletekita gk usah terlalu berharap banyak sama pemerintah kalo kita sendiri tidak bergerak untuk berusaha.. :)
ReplyDeletebisa kita bayangkan bagaimana prihatinnya hidup para pengungsi di sana :(
ReplyDeletesemoga pemerintah bisa berbuat lebih banyak untuk mereka....
ya memang seharusnya pemerintah pusat dan daerah melindungi pengungsi mas.. tp kadang mereka pura² tak mendengar jerit tangis para pengungsi
ReplyDeletesaya sbg relawan merasa kasihan dengan pengungsi mas.. mereka kehilangan harta benda dll..
ReplyDeletemasa pemulihan jg pasti memakan waktu
Selalu sedih mendengar cerita para pengungsi merapi... :(
ReplyDeleteprihatin sama pengungsi dan korban yang gugur dalam bencana gunung berapi,
ReplyDeletesemoga pemerintah dan masyarakat bersama-sama membantu para korban agar proses pemulihan berjalan dengan baik