Filariasis terkesan masih disepelekan, padahal penyakit yang juga dijuluki kaki gajah itu adalah masalah yang sangat serius. Ini tergambar dari masih rendahnya partisipasi warga Kabupaten Bandung yang mengikuti pengobatan tahap pertama penyakit ini yang dimulai pada 10 November lalu.
Adanya keluhan warga yang mual, pusing, lemas setelah mengikuti pengobatan rupanya menimbulkan rasa takut yang berlebihan di kalangan masyarakat dibandingkan dengan kekhawatiran terhadap penyakit itu sendiri. Kenangan peristiwa tahun sebelumnya yang dikaitkan dengan keracunan obat juga menimbulkan trauma di masyarakat. Padahal, hanya dengan pengobatan massal yang dilakukan secara serentak, penyebaran wabah penyakit itu bisa dihentikan.
Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Jawa Barat, sejak 2000 hingga 2009, terdapat 980 penderita kronis filariasis yang positif mikrofilaria. Mereka tersebar di 267 desa di 147 kecamatan yang tersebar di 26 kabupaten dan kota, termasuk 31 penderita di Kabupaten Bandung. Masalahnya, karena sifat penyakit ini yang menahun, kemungkinan masih terdapat warga yang terinfeksi penyakit ini, tetapi belum menunjukkan gejala.
Ini menunjukkan, ancaman wabah penyakit filariasis tidak berada di halaman belakang rumah kita, melainkan sudah masuk ke dalam rumah. Tidak hanya warga Kabupaten Bandung yang terancam, tetapi juga warga Cimahi, Kota Bandung, dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Wajar jika warga di daerah bukan endemik secara psikologis juga merasa khawatir akan penyebaran penyakit yang dapat menimbulkan cacat berupa pembesaran kaki, lengan, kantung buah zakar, payudara, dan kelamin wanita itu.
Oleh karena itu, kita sepakat perlunya sosialisasi yang lebih gencar dari Dinas Kesehatan bersama aparat pemerintah daerah lainnya tentang tujuan pengobatan massal filariasis. Manfaatnya tidak hanya dirasakan warga daerah endemis, tetapi juga warga negara Indonesia lainnya. Seiring dengan sosialisasi, tokoh-tokoh masyarakat dapat ikut melakukan pendekatan secara intensif agar warga tidak mengalami trauma berkepanjangan atau termakan isu-isu yang menyesatkan.
Semestinya, sebelum dan selama pelaksanaan pengobatan massal, warga harus terus-menerus mendapat pemahaman sejelas-jelasnya mengenai filariasis dan efek samping dari obat filariasis. Dengan begitu, obat yang mereka terima pun diminum sesuai dengan petunjuk dan aturan, tidak disimpan atau diminum serampangan.
Meskipun dalam seminggu terakhir tidak banyak warga yang antusias datang, petugas kesehatan tidak boleh menyerah atau putus asa demi kebaikan bersama. Harapannya, pada pengobatan tahap kedua yang dimulai 22 November mendatang, lebih banyak warga yang antusias datang.
Selain itu, karena penyakit yang disebabkan cacing filaria ini dapat ditularkan berbagai jenis nyamuk sebagai vektor atau perantara, diperlukan pula langkah-langkah lanjutan, seperti gerakan pemberantasan nyamuk, gerakan menjaga kebersihan, dan sebagainya. Langkah itu dapat juga dipadupadankan dengan gerakan tiga M (menguras bak mandi, vas bunga, dan tempat penampungan air, mengubur kaleng dan wadah bekas, menutup tempat-tempat penampungan air) untuk pemberantasan nyamuk penyebar demam berdarah dengue.
Kita berharap penyakit ini dapat segera dieliminasi dan Jawa Barat terbebas dari daerah endemis filariasis.
Adanya keluhan warga yang mual, pusing, lemas setelah mengikuti pengobatan rupanya menimbulkan rasa takut yang berlebihan di kalangan masyarakat dibandingkan dengan kekhawatiran terhadap penyakit itu sendiri. Kenangan peristiwa tahun sebelumnya yang dikaitkan dengan keracunan obat juga menimbulkan trauma di masyarakat. Padahal, hanya dengan pengobatan massal yang dilakukan secara serentak, penyebaran wabah penyakit itu bisa dihentikan.
Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Jawa Barat, sejak 2000 hingga 2009, terdapat 980 penderita kronis filariasis yang positif mikrofilaria. Mereka tersebar di 267 desa di 147 kecamatan yang tersebar di 26 kabupaten dan kota, termasuk 31 penderita di Kabupaten Bandung. Masalahnya, karena sifat penyakit ini yang menahun, kemungkinan masih terdapat warga yang terinfeksi penyakit ini, tetapi belum menunjukkan gejala.
Ini menunjukkan, ancaman wabah penyakit filariasis tidak berada di halaman belakang rumah kita, melainkan sudah masuk ke dalam rumah. Tidak hanya warga Kabupaten Bandung yang terancam, tetapi juga warga Cimahi, Kota Bandung, dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Wajar jika warga di daerah bukan endemik secara psikologis juga merasa khawatir akan penyebaran penyakit yang dapat menimbulkan cacat berupa pembesaran kaki, lengan, kantung buah zakar, payudara, dan kelamin wanita itu.
Oleh karena itu, kita sepakat perlunya sosialisasi yang lebih gencar dari Dinas Kesehatan bersama aparat pemerintah daerah lainnya tentang tujuan pengobatan massal filariasis. Manfaatnya tidak hanya dirasakan warga daerah endemis, tetapi juga warga negara Indonesia lainnya. Seiring dengan sosialisasi, tokoh-tokoh masyarakat dapat ikut melakukan pendekatan secara intensif agar warga tidak mengalami trauma berkepanjangan atau termakan isu-isu yang menyesatkan.
Semestinya, sebelum dan selama pelaksanaan pengobatan massal, warga harus terus-menerus mendapat pemahaman sejelas-jelasnya mengenai filariasis dan efek samping dari obat filariasis. Dengan begitu, obat yang mereka terima pun diminum sesuai dengan petunjuk dan aturan, tidak disimpan atau diminum serampangan.
Meskipun dalam seminggu terakhir tidak banyak warga yang antusias datang, petugas kesehatan tidak boleh menyerah atau putus asa demi kebaikan bersama. Harapannya, pada pengobatan tahap kedua yang dimulai 22 November mendatang, lebih banyak warga yang antusias datang.
Selain itu, karena penyakit yang disebabkan cacing filaria ini dapat ditularkan berbagai jenis nyamuk sebagai vektor atau perantara, diperlukan pula langkah-langkah lanjutan, seperti gerakan pemberantasan nyamuk, gerakan menjaga kebersihan, dan sebagainya. Langkah itu dapat juga dipadupadankan dengan gerakan tiga M (menguras bak mandi, vas bunga, dan tempat penampungan air, mengubur kaleng dan wadah bekas, menutup tempat-tempat penampungan air) untuk pemberantasan nyamuk penyebar demam berdarah dengue.
Kita berharap penyakit ini dapat segera dieliminasi dan Jawa Barat terbebas dari daerah endemis filariasis.
Lumayan nih buat nambah ilmu pengetahuan tentang kesehatan.
ReplyDelete