Dalam kajian pendidikan dikenal sejumlah ranah pendidikan, seperti pendidikan intelek, pendidikan keterampilan, pendidikan sikap dan pendidikan karakter (watak). Pendidikan karakter berkenaan dengan psikis individu, di antaranya segi keinginan/nafsu, motif, dan dorongan berbuat.
Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penangggulangan persoalan hidupnya.
Dengan pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan ukuran martabat dirinya, sehingga berpikir objektif, terbuka dan kritis serta memiliki harga diri yang tidak mudah memperjual-belikan. Sosok dirinya tampak memiliki integritas, jujur, kreatif, dan perbuatannya menunjukkan produktivitas.
Selain itu, tidak hanya menyadari apa tugasnya dan bagaimana mengambil sikap terhadap berbagai jenis situasi permasalahan, tetapi juga akan menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran, peka terhadap nilai keramahan sosial dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya.
Oleh karena itu, sekolah yang akan mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dapat memikirkan segi sebagai berikut. Pertama, keberhasilan pendidikan berbasis karakter terkait dengan kondisi peserta didik yang landasan keluarganya mengharapkan tercipta iklim kehidupan dengan norma kebaikan dan tanggung jawab. Dengan demikian, fungsi pendidikan berbasis karakter untuk menunjukkan kesadaran normatif peserta didik. Seperti, berbuat baik dan melaksanakan tanggung jawabnya agar terinternalisasi pada pembentukan pribadi.
Organ manusia yang berfungsi melaksanakan kesadaran normatif ialah hati nurani atau kata hati (conscience). Sementara organ penunjangnya ialah pikiran atau logika. Pendidikan berbasis karakter diprogram untuk upaya kesadaran normatif yang ada pada hati nurani supaya diteruskan kepada pikiran untuk dicari rumusan bentuk perilaku, kemudian ditransferkan ke anggota badan pelaksana perbuatan.
Contoh, mulut pelaksana perbuatan bicara atau bahasa melalui kata-kata, maka sistem mulut memfungsikan kata-kata bersifat logis atau masuk akal, bahkan dengan landasan kesadaran norma dan tanggung jawab akan terjadi komunikasi dengan perkataan santun yang jauh dari celaan dan menyakitkan orang lain.
Karena itu, pendekatan proses pembelajaran di sekolah perlu disesuaikan. Yaitu dengan menciptakan iklim yang merangsang pikiran peserta didik untuk digunakan sebagai alat observasi dalam mengeksplorasi dunia. Interaksi antara pikiran dan dunia harus memunculkan proses adaptasi, penguasaan dunia dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Keberhasilan anak menjalani interaksi dengan dunia akan membentuk kemampuan merumuskan cita-citanya. Bahkan cita-cita itu dijadikan pedoman atau kompas hidup. Dengan pedoman hidup itu ia menentukan arah sekaligus membentuk norma hidupnya.
Kedua, kondisi sekolah dapat menciptakan iklim rasa aman bagi peserta didiknya (joyful learning). Jika tidak merasa aman peserta didiknya, seperti merasa terguncang jiwa, cemas, atau frustrasi akibat mendapatkan pengalaman kurang baik dari sekolah, maka tidak akan dapat menanggapi upaya pendidikan dari sekolahnya. Bahkan acap kali merespons upaya pendidikan dengan bentuk protes atau agresi terhadap lingkungannya.
Peserta didik yang cerdas sekalipun dengan merasa kurang aman, acap kali konflik dengan lingkungan yang menyulitkan hidup. Bahkan upaya mempertahankan hidupnya dengan berbuat tercela, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab, dan jahat.
Perasaan aman hidup atau perasaan yang tidak diliputi kecemasan di sekolah hanya mungkin bila suasana sekolah mencintai anak dengan menciptakan iklim keterbukaan, mesra, bahagia, gembira, dan ceria. Dengan demikian dengan iklim tersebut akan mampu membuka kata hati peserta didik, baik di sekolah maupun ketika menghadapi dunia masyarakat. Kehidupan nyata dianggap sebagai objek yang menarik minat dengan kegairahan hidup dan penuh perhatian yang merangsang pikirannya.
Ketiga, kebijakan sekolah dalam merumuskan bahan belajar pendidikan berbasis karakter diorientasikan ke masa depan. Yaitu menggambarkan indikasi bentuk baru peradaban masyarakat. Dasar pertimbangannya, (1) proses pembangunan berkonsekuensi terhadap perubahan bentuk baru kebiasaan hidup masyarakat, (2) pendidikan berbasis karakter harus berperan sebagai pengimbang akibat sampingan proses pembangunan.
Indikator bentuk baru peradaban masyarakat, dirumuskan dari hasil pengamatan kehidupan kota yang mengalami pembangunan pesat dan menimbulkan urbanisasi. Dengan demikian, di kota tercipta pusat permukiman penduduk pendatang baru yang seolah terputus dari akar sosial budaya sebelumnya. Permukiman kota penuh sesak menimbulkan suasana kehidupan yang mencekam dari kekhawatiran terjadinya instabilitas sosial.
Selain itu, rumusan didapat dari hasil pengamatan suasana keluarga dalam menghadapi tata kehidupan baru, apakah mengambil sikap bertahan dengan kebiasaan hidup sebelumnya, ataukah meninggalkan dan mengganti kebiasaan hidup sebelumnya, sementara keadaan sekitar tidak ikut bertahan. Terutama mengambil sikap mengenai kaitan dengan ekonomi keluarga, pekerjaan, perdagangan, dan kecemburuan sosial. Bagaimana kondisi keluarga yang tetap bertahan apakah menjadi terasingkan. Bagaimana pula keluarga yang mengubah kebiasaan lama dengan yang baru apakah secara psikologis memperoleh kemantapan ataukah kepahitan dan kekacauan hidup.
Paling tidak, pengamatan sepintas menunjukkan akibat sampingan pembangunan yang pesat pada perubahan bentuk kehidupan masyarakat. Yaitu, pembangunan yang menawarkan kesempatan bagi siapa saja yang berkesanggupan, sehingga mengakibatkan di satu pihak terdapat sebagaian anggota masyarakat yang cakap dan berani mengambil risiko untuk menangkap manfaat penawaran pembangunan dan golongan ini akan maju. Di pihak lain, ada anggota masyarakat yang lamban bergerak dalam menangkap manfaat dan golongan ini akan semakin tertinggal. Dengan demikian hasil akhir antara yang cakap dan lamban menyebabkan munculnya jurang perbedaan kepemilikan materi yang mudah diisukan sebagai pelanggaran asas keadilan.
Kondisi jurang perbedaan kemajuan sisi materi yang dipahami secara sempit, mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai masyarakat. Yaitu menguatnya arus bentuk baru kehidupan masyarakat seperti nilai materi dan hura-hura serta tampak memudar budaya santun, malu, kekeluargaan, kejujuran, toleransi, kebersamaan, kesetiakawanan, dan gotong royong.
Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penangggulangan persoalan hidupnya.
Dengan pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan ukuran martabat dirinya, sehingga berpikir objektif, terbuka dan kritis serta memiliki harga diri yang tidak mudah memperjual-belikan. Sosok dirinya tampak memiliki integritas, jujur, kreatif, dan perbuatannya menunjukkan produktivitas.
Selain itu, tidak hanya menyadari apa tugasnya dan bagaimana mengambil sikap terhadap berbagai jenis situasi permasalahan, tetapi juga akan menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran, peka terhadap nilai keramahan sosial dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya.
Oleh karena itu, sekolah yang akan mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dapat memikirkan segi sebagai berikut. Pertama, keberhasilan pendidikan berbasis karakter terkait dengan kondisi peserta didik yang landasan keluarganya mengharapkan tercipta iklim kehidupan dengan norma kebaikan dan tanggung jawab. Dengan demikian, fungsi pendidikan berbasis karakter untuk menunjukkan kesadaran normatif peserta didik. Seperti, berbuat baik dan melaksanakan tanggung jawabnya agar terinternalisasi pada pembentukan pribadi.
Organ manusia yang berfungsi melaksanakan kesadaran normatif ialah hati nurani atau kata hati (conscience). Sementara organ penunjangnya ialah pikiran atau logika. Pendidikan berbasis karakter diprogram untuk upaya kesadaran normatif yang ada pada hati nurani supaya diteruskan kepada pikiran untuk dicari rumusan bentuk perilaku, kemudian ditransferkan ke anggota badan pelaksana perbuatan.
Contoh, mulut pelaksana perbuatan bicara atau bahasa melalui kata-kata, maka sistem mulut memfungsikan kata-kata bersifat logis atau masuk akal, bahkan dengan landasan kesadaran norma dan tanggung jawab akan terjadi komunikasi dengan perkataan santun yang jauh dari celaan dan menyakitkan orang lain.
Karena itu, pendekatan proses pembelajaran di sekolah perlu disesuaikan. Yaitu dengan menciptakan iklim yang merangsang pikiran peserta didik untuk digunakan sebagai alat observasi dalam mengeksplorasi dunia. Interaksi antara pikiran dan dunia harus memunculkan proses adaptasi, penguasaan dunia dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Keberhasilan anak menjalani interaksi dengan dunia akan membentuk kemampuan merumuskan cita-citanya. Bahkan cita-cita itu dijadikan pedoman atau kompas hidup. Dengan pedoman hidup itu ia menentukan arah sekaligus membentuk norma hidupnya.
Kedua, kondisi sekolah dapat menciptakan iklim rasa aman bagi peserta didiknya (joyful learning). Jika tidak merasa aman peserta didiknya, seperti merasa terguncang jiwa, cemas, atau frustrasi akibat mendapatkan pengalaman kurang baik dari sekolah, maka tidak akan dapat menanggapi upaya pendidikan dari sekolahnya. Bahkan acap kali merespons upaya pendidikan dengan bentuk protes atau agresi terhadap lingkungannya.
Peserta didik yang cerdas sekalipun dengan merasa kurang aman, acap kali konflik dengan lingkungan yang menyulitkan hidup. Bahkan upaya mempertahankan hidupnya dengan berbuat tercela, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab, dan jahat.
Perasaan aman hidup atau perasaan yang tidak diliputi kecemasan di sekolah hanya mungkin bila suasana sekolah mencintai anak dengan menciptakan iklim keterbukaan, mesra, bahagia, gembira, dan ceria. Dengan demikian dengan iklim tersebut akan mampu membuka kata hati peserta didik, baik di sekolah maupun ketika menghadapi dunia masyarakat. Kehidupan nyata dianggap sebagai objek yang menarik minat dengan kegairahan hidup dan penuh perhatian yang merangsang pikirannya.
Ketiga, kebijakan sekolah dalam merumuskan bahan belajar pendidikan berbasis karakter diorientasikan ke masa depan. Yaitu menggambarkan indikasi bentuk baru peradaban masyarakat. Dasar pertimbangannya, (1) proses pembangunan berkonsekuensi terhadap perubahan bentuk baru kebiasaan hidup masyarakat, (2) pendidikan berbasis karakter harus berperan sebagai pengimbang akibat sampingan proses pembangunan.
Indikator bentuk baru peradaban masyarakat, dirumuskan dari hasil pengamatan kehidupan kota yang mengalami pembangunan pesat dan menimbulkan urbanisasi. Dengan demikian, di kota tercipta pusat permukiman penduduk pendatang baru yang seolah terputus dari akar sosial budaya sebelumnya. Permukiman kota penuh sesak menimbulkan suasana kehidupan yang mencekam dari kekhawatiran terjadinya instabilitas sosial.
Selain itu, rumusan didapat dari hasil pengamatan suasana keluarga dalam menghadapi tata kehidupan baru, apakah mengambil sikap bertahan dengan kebiasaan hidup sebelumnya, ataukah meninggalkan dan mengganti kebiasaan hidup sebelumnya, sementara keadaan sekitar tidak ikut bertahan. Terutama mengambil sikap mengenai kaitan dengan ekonomi keluarga, pekerjaan, perdagangan, dan kecemburuan sosial. Bagaimana kondisi keluarga yang tetap bertahan apakah menjadi terasingkan. Bagaimana pula keluarga yang mengubah kebiasaan lama dengan yang baru apakah secara psikologis memperoleh kemantapan ataukah kepahitan dan kekacauan hidup.
Paling tidak, pengamatan sepintas menunjukkan akibat sampingan pembangunan yang pesat pada perubahan bentuk kehidupan masyarakat. Yaitu, pembangunan yang menawarkan kesempatan bagi siapa saja yang berkesanggupan, sehingga mengakibatkan di satu pihak terdapat sebagaian anggota masyarakat yang cakap dan berani mengambil risiko untuk menangkap manfaat penawaran pembangunan dan golongan ini akan maju. Di pihak lain, ada anggota masyarakat yang lamban bergerak dalam menangkap manfaat dan golongan ini akan semakin tertinggal. Dengan demikian hasil akhir antara yang cakap dan lamban menyebabkan munculnya jurang perbedaan kepemilikan materi yang mudah diisukan sebagai pelanggaran asas keadilan.
Kondisi jurang perbedaan kemajuan sisi materi yang dipahami secara sempit, mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai masyarakat. Yaitu menguatnya arus bentuk baru kehidupan masyarakat seperti nilai materi dan hura-hura serta tampak memudar budaya santun, malu, kekeluargaan, kejujuran, toleransi, kebersamaan, kesetiakawanan, dan gotong royong.
salam sahabat
ReplyDeleteehm berkaitan dengan duni pendidikan ini yach.dalam mencari model pendidikan ini lebih ketara pada kreativitas mas.makasih infonya yach
Salam
ReplyDeleteWah, ijin share yach kawan..
Pembahasannya lumayan nih buat referensi..
Salam kawan
menone setuju dengan kalimat2 yg terakhir.........bahwa kebanyakan dr masyarakat kita sering kali menganggap perbedaan kepemilikan materi merupakan pelanggaran asas keadilan........padahal semuanya bermula dr diri kita sendiri ya ga?
ReplyDeleteBenar nih, pendidikan untuk membangun karakter sangat penting untuk perkembangan generasi muda kita,,, mantapp sob artikelnya,,,,
ReplyDelete