Pada masa yang lalu, pendatang dari negeri lain banyak yang tidak membawa istri sehingga mereka banyak yang menikah dengan wanita pribumi, atau banyak juga yang kumpul kebo, yaitu hidup bersama tanpa nikah. Meskipun ada, tetapi jarang sekali ada pernikahan antara laki-laki pribumi dan wanita asing, baik Eropa maupun Cina. Yang umum adalah laki-laki asing dengan perempuan pribumi. Banyak yang kemudian mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak-anak itu –yang berdarah campuran– dalam bahasa kita disebut dengan nama yang khusus. Anak-anak campuran antara orang kulit putih (Eropa) dengan perempuan pribumi disebut indo.
Akan tetapi, anak-anak campuran antara laki-laki Cina dengan perempuan pribumi disebut peranakan atau Cina peranakan. Tidak ada sebutan khusus buat anak campuran antara laki-laki Arab dan keling dengan perempuan pribumi, meskipun pernikahan antara laki-laki Arab dengan perempuan pribumi cukup banyak, begitu juga antara laki-laki keling dengan perempuan pribumi.
Perempuan yang menjadi piaraan laki-laki asing, baik Eropa maupun Cina disebut nyai atau nyai-nyai. Dalam khazanah sastra Melayu Pasar, banyak sekali roman yang menceritakan kehidupan nyai, atau nyai-nyai itu. Beberapa menjadi klasik dan banyak yang pernah dibuat film seperti "Nyai Dasima" karya G. Francis (1896), "Nyai Paina" karya H. Kommer (1900), "Nyai Rosina" karya Pangemanan (1910), "Nyai Sumirah" karya Thio Tjhin Boen (1917), dan lain-lain. Dalam tetralogi yang ditulis di Pulau Buru oleh Pramoedya Ananta Toer juga dikisahkan tentang Nyai Ontosoroh berlainan dengan kebanyakan nyai dalam roman yang lain, tumbuh menjadi pribadi yang mengesankan karena mau mandiri. Pada masa Hindia Belanda, hidup sebagai nyai itu tampaknya diterima masyarakat meskipun di belakang orangnya sering menjadi pergunjingan. Akan tetapi, nyai yang hidup bersama orang Belanda (Eropa) atau Cina yang kaya, misalnya, dengan mudah masuk ke dalam pergaulan masyarakat setempat.
Sangat menarik bahwa di lingkungan pesantren, istri kiai juga disebut nyai. Tentu saja sebutan nyai kepada istri kiai tidaklah mengandung bibit pergunjingan. Istri kiai malah mendapat penghormatan yang tinggi di lingkungan pesantren dan lingkungan masyarakat yang taat beragama.
Orang-orang indo dan Cina peranakan itu hidupnya seakan-akan terpisah atau memisahkan diri dari anggota masyarakat yang lain, sehingga membentuk kelompok yang mempunyai ciri-ciri dan sifat tersendiri. Orang-orang indo yang terutama hidup di kota-kota besar, sehari-hari menggunakan bahasa Belanda yang banyak dicampur dengan kata-kata dan struktur bahasa Melayu Pasar. Orang Cina Peranakan umumnya menggunakan bahasa Melayu Pasar, sehingga bahasa tersebut disebut juga sebagai bahasa Melayu Cina. Baik orang indo maupun orang peranakan menulis dalam bahasa yang mereka gunakan sehari-hari itu, sehingga lahirlah karya pustaka dalam sejenis bahasa yang khas.
Perempuan yang menjadi piaraan laki-laki asing, baik Eropa maupun Cina disebut nyai atau nyai-nyai. Dalam khazanah sastra Melayu Pasar, banyak sekali roman yang menceritakan kehidupan nyai, atau nyai-nyai itu. Beberapa menjadi klasik dan banyak yang pernah dibuat film seperti "Nyai Dasima" karya G. Francis (1896), "Nyai Paina" karya H. Kommer (1900), "Nyai Rosina" karya Pangemanan (1910), "Nyai Sumirah" karya Thio Tjhin Boen (1917), dan lain-lain. Dalam tetralogi yang ditulis di Pulau Buru oleh Pramoedya Ananta Toer juga dikisahkan tentang Nyai Ontosoroh berlainan dengan kebanyakan nyai dalam roman yang lain, tumbuh menjadi pribadi yang mengesankan karena mau mandiri. Pada masa Hindia Belanda, hidup sebagai nyai itu tampaknya diterima masyarakat meskipun di belakang orangnya sering menjadi pergunjingan. Akan tetapi, nyai yang hidup bersama orang Belanda (Eropa) atau Cina yang kaya, misalnya, dengan mudah masuk ke dalam pergaulan masyarakat setempat.
Sangat menarik bahwa di lingkungan pesantren, istri kiai juga disebut nyai. Tentu saja sebutan nyai kepada istri kiai tidaklah mengandung bibit pergunjingan. Istri kiai malah mendapat penghormatan yang tinggi di lingkungan pesantren dan lingkungan masyarakat yang taat beragama.
Orang-orang indo dan Cina peranakan itu hidupnya seakan-akan terpisah atau memisahkan diri dari anggota masyarakat yang lain, sehingga membentuk kelompok yang mempunyai ciri-ciri dan sifat tersendiri. Orang-orang indo yang terutama hidup di kota-kota besar, sehari-hari menggunakan bahasa Belanda yang banyak dicampur dengan kata-kata dan struktur bahasa Melayu Pasar. Orang Cina Peranakan umumnya menggunakan bahasa Melayu Pasar, sehingga bahasa tersebut disebut juga sebagai bahasa Melayu Cina. Baik orang indo maupun orang peranakan menulis dalam bahasa yang mereka gunakan sehari-hari itu, sehingga lahirlah karya pustaka dalam sejenis bahasa yang khas.
Meskipun pada dasarnya masih bisa disebut bahasa Belanda, tetapi karya-karya orang indo itu tidak dianggap sebagai karya sastra Belanda yang daria, bahkan mungkin tidak dianggap sebagai karya sastra Belanda, walaupun dalam bahasa tersebut ada penulis yang piawai seperti Vincent Mahieu atau Tjalie Robinson yang menjadi nama pena Jan Boon yang dua kumpulan cerita pendeknya Tjies (1955) dan Tjoek (1960) sangat populer. Tjoek malah diterbitkan di negeri Belanda. Rob Nieuwenhuys dalam bukunya Mirror of the Indies, A History of Dutch Colonial Literature (1999) sama sekali tidak membicarakan Vincent Mahieu atau sastra dalam bahasa Belanda indo itu.
Tidak hanya dalam kesusastraan orang-orang indo mempunyai ciri yang khas, melainkan juga dalam berbagai aspek kehidupan yang lain, sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai "kebudayaan indo", yang kelihatan dalam bentuk arsitektur rumah, makanan, adat istiadat, dan lain-lain. Ketika pada akhir dekade 1950-an kaum indo banyak yang pindah ke Belanda karena ketegangan hubungan antara Indonesia dan Belanda disebabkan masalah Papua, di negeri Belanda mereka mempertahankan kebudayaannya yang khas itu dengan di antaranya setiap tahun menyelenggarakan "Pasar Malam" yang menampilkan berbagai bentuk kesenian, makanan, dan lainnya yang khas Indo di Den Haag. Akan tetapi, dengan kian berkurangnya orang indo itu (mungkin sekarang sudah punah sama sekali), kebudayaan indo itu pun sirna dari muka bumi, termasuk bahasanya.
Orang Cina peranakan kecuali memungut beberapa bentuk kesenian tradisi leluhurnya seperti barongsai, wayang potehi, cokek, dan lain-lain yang muncul setiap hari-hari tertentu yang merupakan hari-hari besar Cina, banyak yang memupuk kegemarannya akan kesenian setempat. Kelenteng-kelenteng di daerah Cirebon misalnya, pada saat Imlek biasa menanggap wayang kulit Cirebon atau wayang cepak selama dua minggu terus-terusan siang dan malam. Orang-orang kaya suka menanggap wayang atau topeng. Banyak yang memiliki gamelan lengkap atau karya kesenian setempat lainnya. Banyak yang membentuk atau aktif dalam kelompok-kelompok kesenian seperti wayang wong, keroncong, dan lain-lain. Di Bandung malah ada yang menjadi dalang wayang golek yang cukup terkenal, yaitu Apek Gunawijaya dan sekarang juga ada Tandeseng yang mempelajari dan pandai memainkan karawitan Sunda.
Yang sangat mengesankan, orang-orang peranakan aktif dalam bidang penulisan dan penerbitan buku Melayu Pasar. Menurut Claudine Salmon, yang mempelajari orang dan kebudayaan Cina di Indonesia, dalam bahasa Melayu Pasar ada 3.000 judul lebih buku yang terbit sampai kira-kira pertengahan abad ke-20, jauh lebih banyak daripada buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-20, kegiatan penulisan dan penerbitan dalam bahasa Melayu Pasar itu boleh dikatakan berhenti. Para penulis Cina peranakan seperti Marga T., Arief Budiman, Onghokham, Rita Oetojo, dan lain-lain menulis dalam bahasa Indonesia.
Dengan demikian, "kebudayaan Indo" atau "kebudayaan peranakan" sekarang boleh dikatakan sudah tidak ada. Para pendukungnya sudah membaur dengan penduduk yang lain, sehingga tidak lagi membentuk komunitas dengan kebudayaan yang mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri tersendiri. Istilah indo atau peranakan barangkali masih digunakan dalam arti yang khusus dan digunakan dalam lingkungan yang khusus juga. Istilah indo, misalnya, sering digunakan untuk menunjukkan sifat karya seni yang tidak bersifat pribumi.
Tidak hanya dalam kesusastraan orang-orang indo mempunyai ciri yang khas, melainkan juga dalam berbagai aspek kehidupan yang lain, sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai "kebudayaan indo", yang kelihatan dalam bentuk arsitektur rumah, makanan, adat istiadat, dan lain-lain. Ketika pada akhir dekade 1950-an kaum indo banyak yang pindah ke Belanda karena ketegangan hubungan antara Indonesia dan Belanda disebabkan masalah Papua, di negeri Belanda mereka mempertahankan kebudayaannya yang khas itu dengan di antaranya setiap tahun menyelenggarakan "Pasar Malam" yang menampilkan berbagai bentuk kesenian, makanan, dan lainnya yang khas Indo di Den Haag. Akan tetapi, dengan kian berkurangnya orang indo itu (mungkin sekarang sudah punah sama sekali), kebudayaan indo itu pun sirna dari muka bumi, termasuk bahasanya.
Orang Cina peranakan kecuali memungut beberapa bentuk kesenian tradisi leluhurnya seperti barongsai, wayang potehi, cokek, dan lain-lain yang muncul setiap hari-hari tertentu yang merupakan hari-hari besar Cina, banyak yang memupuk kegemarannya akan kesenian setempat. Kelenteng-kelenteng di daerah Cirebon misalnya, pada saat Imlek biasa menanggap wayang kulit Cirebon atau wayang cepak selama dua minggu terus-terusan siang dan malam. Orang-orang kaya suka menanggap wayang atau topeng. Banyak yang memiliki gamelan lengkap atau karya kesenian setempat lainnya. Banyak yang membentuk atau aktif dalam kelompok-kelompok kesenian seperti wayang wong, keroncong, dan lain-lain. Di Bandung malah ada yang menjadi dalang wayang golek yang cukup terkenal, yaitu Apek Gunawijaya dan sekarang juga ada Tandeseng yang mempelajari dan pandai memainkan karawitan Sunda.
Yang sangat mengesankan, orang-orang peranakan aktif dalam bidang penulisan dan penerbitan buku Melayu Pasar. Menurut Claudine Salmon, yang mempelajari orang dan kebudayaan Cina di Indonesia, dalam bahasa Melayu Pasar ada 3.000 judul lebih buku yang terbit sampai kira-kira pertengahan abad ke-20, jauh lebih banyak daripada buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-20, kegiatan penulisan dan penerbitan dalam bahasa Melayu Pasar itu boleh dikatakan berhenti. Para penulis Cina peranakan seperti Marga T., Arief Budiman, Onghokham, Rita Oetojo, dan lain-lain menulis dalam bahasa Indonesia.
Dengan demikian, "kebudayaan Indo" atau "kebudayaan peranakan" sekarang boleh dikatakan sudah tidak ada. Para pendukungnya sudah membaur dengan penduduk yang lain, sehingga tidak lagi membentuk komunitas dengan kebudayaan yang mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri tersendiri. Istilah indo atau peranakan barangkali masih digunakan dalam arti yang khusus dan digunakan dalam lingkungan yang khusus juga. Istilah indo, misalnya, sering digunakan untuk menunjukkan sifat karya seni yang tidak bersifat pribumi.
Tulisan Ajip Rosidi dalam Pikiran Rakyat
0 comments:
Post a Comment
Saya sangat menghargai Anda yang bersedia berkomentar di setiap postingan bolehngeblog