Dalam satu wawancara, produser film hantu yang menampilkan pemeran utamanya bintang film porno, menjelaskan pertanyaan tentang banyaknya adegan berpakaian bikini. Ia membela diri dengan alasan klise, kalau adegannya di pantai masa mengenakan pakaian serbatertutup. Kenyataannya, tidak setiap yang menikmati pantai harus berpakaian bikini. Bahkan, kalau nonton film Julia Roberts "Eat Pray Love", beberapa adegan ketika ia berada di pantai Bali, sama sekali tidak berpakaian bikini.
Ini sekadar menggambarkan, betapa sejumlah produser film kita memang pintar berkelit, dengan argumentasi, kalau mau "menjual kemolekan tubuh" maka harus ada adegan di pantai. Maka tidak heran, kalau judul yang menggunakan pantai, gambar iklannya adalah sejumlah pemain berpakaian bikini.
Dulu, film kategori "panas" atau yang menjual adegan ranjang dan komolekan tubuh itu, menggunakan judul yang menjurus ke arah sana seperti "Akibat Pergaulan Bebas", "Satu Ranjang Dua Cinta", "Selimut Hidup", "Samen Leven", "Bernafas di Atas Ranjang", dan lainnya, sekarang justru berbagai adegan yang memamerkan kemolekan tubuh dan adegan ranjang itu muncul dalam film hantu. Bahkan, sejumlah film hantu yang beredar saat ini, seringkali menampilkan pemain-pemain yang sebelumnya dikenal sebagai selebriti yang memiliki citra sensual. Padahal, awal suksesnya film hantu pada era reformasi, justru dimulai dengan film hantu yang memberi warna baru yaitu "Jelangkung" (Rizal Mathovani & Jose Purnomo), dan "Tusuk Jelangkung" (Dimas Jayadiningrat). Sama sekali tanpa menjual kemolekan tubuh, tetapi bertumpu pada kekuatan cerita dan kekuatan sinematografi.
Bisa jadi karena sukses film hantu semacam "Pocong", "Kuntil Anak", dan "Hantu Jeruk Purut", maka para produser kembali memburu hantu dengan gambaran yang seram, seperti pada masa jayanya hantu yang diperankan Suzanna.
Bintang film porno
Banyak produser yang membuat film hanya sebagai barang dagangan. Ia hanya berpikir bagaimana agar filmnya bisa laku. Ia juga pintar memancing reaksi untuk publikasi. Misalnya, ketika bintang film porno dari Jepang, Miyabi, dipublikasikan hendak tampil sebagai pemeran utama dalam film komedi "Menculik Miyabi", langsung mengundang reaksi. Protes ke arah produser begitu gencar, antara lain menolak Miyabi datang ke Indonesia. Bagi produser tentu saja tidak masalah, sebab shooting bisa dilakukan di luar Indonesia.
Dampak negatif, justru akibat protes itu membuat masyarakat yang tadinya belum tahu siapa Miyabi, serentak mencari film-film porno Miyabi yang memang mudah didapat dan diakses. Padahal, ketika film "Menculik Miyabi" beredar, ternyata aman-aman saja. Tak ada yang menentang, tak ada yang meminta film itu dilarang beredar.
Sama halnya dengan kehadiran Tera Patrick sebagai pemeran utama film hantu "Rintihan Kuntil Anak Perawan" yang kini tengah beredar. Protes terhadap bintang film porno tersebut, seperti juga protes kepada Miyabi, malah membuat masyarakat penasaran untuk mencari film porno yang dibintangi Tera Patrcik. Dan tentu saja, membuat banyak yang penasaran untuk menyaksikan filmnya di bioskop.
Setiap produser memang memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan pemeran utama film yang akan diproduksinya, begitu juga dalam memilih materi cerita. Akan tetapi, semestinya ia juga punya tanggung jawab moral, sehingga ketika membuat film - meskipun dengan tujuan untuk mencari uang, jangan sampai menghalalkan segala cara. Bukankah wajar kalau ada yang bertanya, memangnya kita kekurangan pemain, sehingga mesti menggunakan bintang film porno? Alangkah rusaknya citra film Indonesia, jika film-filmnya dibintangi oleh bintang film porno! Lebih-lebih lagi karena filmnya memang hanya dengan tujuan untuk mencari keuntungan materi. Padahal, seorang Christine Hakim dihormati sineas asing sebagai aktris film terbaik kita, sehingga dalam film "Eat Pray Love" dipilih beradu akting dengan aktris dunia Julia Robets. Atau bisa juga menuding ke arah Lembaga Sensor Film, dengan mengatakan, film saya sudah lolos sensor, berarti tak ada hal yang negatif. Sayang memang kalau kehadiran film bagus seperti "Sang Pencerah", "Laskar Pemimpi", harus bersaing dengan film-film murah yang murahan.
Ini sekadar menggambarkan, betapa sejumlah produser film kita memang pintar berkelit, dengan argumentasi, kalau mau "menjual kemolekan tubuh" maka harus ada adegan di pantai. Maka tidak heran, kalau judul yang menggunakan pantai, gambar iklannya adalah sejumlah pemain berpakaian bikini.
Dulu, film kategori "panas" atau yang menjual adegan ranjang dan komolekan tubuh itu, menggunakan judul yang menjurus ke arah sana seperti "Akibat Pergaulan Bebas", "Satu Ranjang Dua Cinta", "Selimut Hidup", "Samen Leven", "Bernafas di Atas Ranjang", dan lainnya, sekarang justru berbagai adegan yang memamerkan kemolekan tubuh dan adegan ranjang itu muncul dalam film hantu. Bahkan, sejumlah film hantu yang beredar saat ini, seringkali menampilkan pemain-pemain yang sebelumnya dikenal sebagai selebriti yang memiliki citra sensual. Padahal, awal suksesnya film hantu pada era reformasi, justru dimulai dengan film hantu yang memberi warna baru yaitu "Jelangkung" (Rizal Mathovani & Jose Purnomo), dan "Tusuk Jelangkung" (Dimas Jayadiningrat). Sama sekali tanpa menjual kemolekan tubuh, tetapi bertumpu pada kekuatan cerita dan kekuatan sinematografi.
Bisa jadi karena sukses film hantu semacam "Pocong", "Kuntil Anak", dan "Hantu Jeruk Purut", maka para produser kembali memburu hantu dengan gambaran yang seram, seperti pada masa jayanya hantu yang diperankan Suzanna.
Bintang film porno
Banyak produser yang membuat film hanya sebagai barang dagangan. Ia hanya berpikir bagaimana agar filmnya bisa laku. Ia juga pintar memancing reaksi untuk publikasi. Misalnya, ketika bintang film porno dari Jepang, Miyabi, dipublikasikan hendak tampil sebagai pemeran utama dalam film komedi "Menculik Miyabi", langsung mengundang reaksi. Protes ke arah produser begitu gencar, antara lain menolak Miyabi datang ke Indonesia. Bagi produser tentu saja tidak masalah, sebab shooting bisa dilakukan di luar Indonesia.
Dampak negatif, justru akibat protes itu membuat masyarakat yang tadinya belum tahu siapa Miyabi, serentak mencari film-film porno Miyabi yang memang mudah didapat dan diakses. Padahal, ketika film "Menculik Miyabi" beredar, ternyata aman-aman saja. Tak ada yang menentang, tak ada yang meminta film itu dilarang beredar.
Sama halnya dengan kehadiran Tera Patrick sebagai pemeran utama film hantu "Rintihan Kuntil Anak Perawan" yang kini tengah beredar. Protes terhadap bintang film porno tersebut, seperti juga protes kepada Miyabi, malah membuat masyarakat penasaran untuk mencari film porno yang dibintangi Tera Patrcik. Dan tentu saja, membuat banyak yang penasaran untuk menyaksikan filmnya di bioskop.
Setiap produser memang memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan pemeran utama film yang akan diproduksinya, begitu juga dalam memilih materi cerita. Akan tetapi, semestinya ia juga punya tanggung jawab moral, sehingga ketika membuat film - meskipun dengan tujuan untuk mencari uang, jangan sampai menghalalkan segala cara. Bukankah wajar kalau ada yang bertanya, memangnya kita kekurangan pemain, sehingga mesti menggunakan bintang film porno? Alangkah rusaknya citra film Indonesia, jika film-filmnya dibintangi oleh bintang film porno! Lebih-lebih lagi karena filmnya memang hanya dengan tujuan untuk mencari keuntungan materi. Padahal, seorang Christine Hakim dihormati sineas asing sebagai aktris film terbaik kita, sehingga dalam film "Eat Pray Love" dipilih beradu akting dengan aktris dunia Julia Robets. Atau bisa juga menuding ke arah Lembaga Sensor Film, dengan mengatakan, film saya sudah lolos sensor, berarti tak ada hal yang negatif. Sayang memang kalau kehadiran film bagus seperti "Sang Pencerah", "Laskar Pemimpi", harus bersaing dengan film-film murah yang murahan.
bener bozz. ak turut prihatin
ReplyDelete