BENCANA alam yang terjadi hampir bersamaan di beberapa daerah, yakni gempa bumi yang disertai tsunami di Kepulauan Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta-Jawa Tengah, telah meluluhlantakkan kawasan di sekitarnya. Terlebih, bencana itu menimbulkan ratusan korban tewas, luka-luka, serta hilang. Semua itu tentu sangat mencabik-cabik hati kita. Padahal, bencana besar lainnya, yakni banjir di Wasior, Papua Barat, belum lama berlalu.
Kita amat merasakan kedukaan itu. Betapa segenap pihak telah berupaya mewaspadai dan melakukan antisipasi, tetapi bencana itu ternyata datangnya lebih cepat. Tak ayal, korban berjatuhan dan kerugian materi yang cukup besar tak terhindarkan.
Namun, di balik peristiwa memprihatinkan itu, muncul berita tentang adanya sejumlah anggota DPR yang tetap melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Praktis para wakil rakyat menjadi sasaran kritik. Mereka dituding mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat. Dengan logika sederhana, seharusnya mereka segera membatalkan atau memundurkan kunjungannya itu.
Melihat bencana yang demikian besar, hati nurani siapa pun patut terketuk. Tanpa diminta, kita harus berempati atas segala air mata, penderitaan, dan kesedihan yang ditimbulkan oleh ganasnya bencana. Oleh karena itu, penanganan bencana menjadi prioritas utama dan bersifat mendesak. Dengan demikian, segala bentuk kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri tidaklah perlu dilakukan.
Jika kemudian ada yang tetap berangkat di tengah terjadinya bencana, tentu program kunjungan kerja mereka harus dievaluasi total, baik dari segi efektivitas maupun kegunaannya. Evaluasi dimaksudkan agar kunjungan kerja benar-benar bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, biaya kunjungan kerja anggota dewan dan juga pemerintah mencapai triliunan rupiah. Padahal, besarnya biaya untuk kunjungan kerja itu tidak otomatis menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan. Bahkan, banyak yang terkesan mengada-ada. Seperti kunjungan kerja ke Yunani yang sekadar mengetahui soal etika. Padahal, negara kita banyak mengajarkan etika.
Dengan segala kritik, akhirnya anggota DPR terketuk. Fraksi PAN memutuskan melarang seluruh anggotanya untuk melakukan kunjungan kerja dan studi banding ke luar negeri, baik di tingkat pusat (DPR) maupun DPRD. Begitu juga Partai Golkar dan Partai Gerakan Indonesia Raya secara terbuka melarang kadernya ke luar negeri. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa juga melakukan hal yang sama.
Kita patut menyambut baik sikap para wakil rakyat yang seperti itu. Meski belum menjadi sikap resmi fraksi masing-masing, penundaan atau pembatalan kunjungan kerja akibat adanya bencana, kiranya harus menjadi standar dalam bersikap. Sesungguhnya, kita tidak ingin menafikan pen-tingnya kunjungan kerja itu, tetapi rasa berempati terhadap sesama dan memupuk hati nurani yang berjiwa sosial jangan sampai terkikis oleh kepentingan-kepentingan sesaat.
Kita amat merasakan kedukaan itu. Betapa segenap pihak telah berupaya mewaspadai dan melakukan antisipasi, tetapi bencana itu ternyata datangnya lebih cepat. Tak ayal, korban berjatuhan dan kerugian materi yang cukup besar tak terhindarkan.
Namun, di balik peristiwa memprihatinkan itu, muncul berita tentang adanya sejumlah anggota DPR yang tetap melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Praktis para wakil rakyat menjadi sasaran kritik. Mereka dituding mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat. Dengan logika sederhana, seharusnya mereka segera membatalkan atau memundurkan kunjungannya itu.
Melihat bencana yang demikian besar, hati nurani siapa pun patut terketuk. Tanpa diminta, kita harus berempati atas segala air mata, penderitaan, dan kesedihan yang ditimbulkan oleh ganasnya bencana. Oleh karena itu, penanganan bencana menjadi prioritas utama dan bersifat mendesak. Dengan demikian, segala bentuk kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri tidaklah perlu dilakukan.
Jika kemudian ada yang tetap berangkat di tengah terjadinya bencana, tentu program kunjungan kerja mereka harus dievaluasi total, baik dari segi efektivitas maupun kegunaannya. Evaluasi dimaksudkan agar kunjungan kerja benar-benar bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, biaya kunjungan kerja anggota dewan dan juga pemerintah mencapai triliunan rupiah. Padahal, besarnya biaya untuk kunjungan kerja itu tidak otomatis menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan. Bahkan, banyak yang terkesan mengada-ada. Seperti kunjungan kerja ke Yunani yang sekadar mengetahui soal etika. Padahal, negara kita banyak mengajarkan etika.
Dengan segala kritik, akhirnya anggota DPR terketuk. Fraksi PAN memutuskan melarang seluruh anggotanya untuk melakukan kunjungan kerja dan studi banding ke luar negeri, baik di tingkat pusat (DPR) maupun DPRD. Begitu juga Partai Golkar dan Partai Gerakan Indonesia Raya secara terbuka melarang kadernya ke luar negeri. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa juga melakukan hal yang sama.
Kita patut menyambut baik sikap para wakil rakyat yang seperti itu. Meski belum menjadi sikap resmi fraksi masing-masing, penundaan atau pembatalan kunjungan kerja akibat adanya bencana, kiranya harus menjadi standar dalam bersikap. Sesungguhnya, kita tidak ingin menafikan pen-tingnya kunjungan kerja itu, tetapi rasa berempati terhadap sesama dan memupuk hati nurani yang berjiwa sosial jangan sampai terkikis oleh kepentingan-kepentingan sesaat.
sumber : Pikiran Rakyat
saya setuju jika kunjungan para anggota DPR ke luar negri tidak perlu dilakukan atau setidaknya di kurangi, biaya tersebut bisa digunakan untuk hal lain yang lebih penting, misalnya untuk para korban bencana alam di indonesia
ReplyDelete