Beberapa teman penggiat penggunaan Internet secara ‘benar, baik dan bertanggung jawab’ baru saja melayangkan sebuah undangan kepada saya. Intinya, mengajak diskusi, membicarakan etika atau tatakrama dalam menggunakan Internet, baik dalam blogging maupun aktivitas microblogging, seperti penggunaan Twitter, Facebook dan sebagainya. Faktanya, Internet sudah banyak memakan korban.
Inilah karya besar Pak Mentri Tifatul Sembiring dan Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengebiri hak asasi WNI
Salah satu contoh kontroversial adalah tuntutan perdata dan pidana terhadap Prita Mulyasari. Ia dituduh mencemarkan nama baik RS Omni, lantaran keluhannya ditulis melalui surat elektronik untuk ‘curhat’ beberapa teman dekatnya. Selain itu, sudah banyak pengguna Internet yang tertipu secara material dan bahkan dirugikan secara moral yang tak ternilai harganya, lewat Facebook atau blog.
Di luar aksi tipu-tipu, kini marak pula penggalaangan dukungan terhadap seseorang, lembaga atau sebuah kepentingan (ekonomi, sosial, budaya, politik, dll) lewat jejarig sosial Facebook. Contoh paling nyata adalah pembelaan terhadap dua komisioner KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, ketika publik menganggap kedua orang tersebut hendak ditahan lantaran aktivitasnya yang sejatinya merupakan kewenangan yang dilindungi hukum.
Di bidang lain, terutama yang terkait hak cipta, terbukti sebagian besar dari kita juga mengabaikan kepemilikan hak cipta. Anehnya, tak sedikit media massa mainstream yang justru terlibat menyiarkan praktek pelanggaran. Contohnya, mengambil gambar/foto/grafis dari Internet seperti Google, Yahoo!, atau jejaring sosial penyedia foto seperti Flickr.com atau YouTube.com, dengan akreditasi Flickr atau YouTube, tanpa menyebut si pemilik karya.
Kita tahu, Flickr atau YouTube tidak mengambil dengan sendirinya atau secara otomatis, namun para pemilik akun di situs itulah yang sengaja mengunggahnya. Selain alasan pragmatis mudah menyimpan gambar, ada pula alasan subyektif (dan obyektif), agar pemilik karya foto atau video itu bisa mempublikasikan karya-karya kreatif mereka dengan aneka tujuan.
Saya, sebagai penulis maupun fotografer (maksudnya kerap membuat karya fotografi), selalu mengunggah karya-karya saya di blog dengan harapan orang lain mendapatkan sesuatu dari yang saya ‘pamerkan’. Ada harapan pula, dari karya tulis maupun foto, orang lain bisa mengetahui portofolio saya secara utuh, sehingga memungkinkan terbukanya kesempatan untuk saling berinteraksi saling menguntungkan, baik diukur dengan pendekatan kemanfaatan, dampak sosial, hingga (jika mungkin) ekonomis.
***
Ada banyak hal bisa kita diskusikan di sini, jika Anda berkenan memberi masukan.
Saya, misalnya, akan selalu memberikan keterangan atau catatan, jika postingan di blog saya telah mengalami perubahan, baik pengurangan atau penambahan data, foto atau keterangan tambahan lainnya untuk penyempurnaan postingan atau penyesuaian dengan perkembangan. Intinya, saya ingin memberitahu kepada pembaca (blog saya), supaya tak kaget ketika menjumpai telah terjadi perubahan ketika ia membaca pertama kali dan ketika berselang waktu tertentu.
Terhadap komentar pun saya berusaha memperlakukan secara fair. Andai ada orang memaki-maki sebagaii ekspresi ketidaksetujuannya dengan postingan saya sekalipun, tak pernah saya sunting. Saya biarkan apa adanya, dengan asumsi setiap orang memiliki kecakapan dan kriteria penilaian yang bisa diterima oleh banyak orang. Namun demikian, jika orang yang sama menuliskan berulang-ulang yang bertendensi menyerang, barulah saya melakukan blocking, termasuk menyurati yang bersangkutan jika meninggalkan alamat email yang benar.
Pada ranah Internet seperti Twitter dan Facebook pun, saya bertanggung jawab atas semua pesan yang saya buat dan sebarkan. Sebagai orang nyinyir atau sok-sok kritis, saya selalu punya pertimbangan tertentu sebelum pesan (status atau kicauan) saya broadcast. Sebagai pendukung gerakan InternetSehat, saya selalu berpikir sebelum melakukan publikasi sesuatu (think before posting). Saya sadar atas semua risiko yang bisa saya hadapi atas tindakan saya di Internet.
Di blog saya, pun saya sering mengambil gambar/foto/grafis dari sumber lain. Untuk itu, selalu saya sebutkan sumbernya, baik berupa alamat blog/website, scan dari buku atau materi publikasi lainnya. Jika tak ada keterangan sama sekali, artinya itu semua merupakan karya saya, di mana saya memiliki hak cipta dan hak penyiaran/publikasinya.
Saya juga pernah mengalami, tulisan-tulisan saya berikut foto ilustrasi mengenai seni pertunjukan, diambil utuh lantas dipindahkan di blog seseorang di (kalau tak salah) Sumatera Barat. Saya pernah memperoleh backlink-nya, dan ketika saya cek di blog tersebut, hampir semua postingan saya ada di sana. Saya merasa ‘sudah cukup’ dengan memperoleh backlink-nya, meski si ‘penjiplak’ tak menyebutkan sumber/asal postingannya alias tak ada disclaimer.
Dalam kasus demikian, saya hanya mendasarkan pada keyakinan, bahwa publik akan tahu atau mengenali kompetensi saya, sehingga saya tak merasa dirugikan. Justru, si pemilik karya seni pertunjukan yang saya ulas melalui blog, bisa dibaca oleh lebih banyak orang selain dari blog saya.
Asal tahu saja, beberapa tulisan saya juga dicomot mentah-mentah oleh banyak blogger. Namun, mayoritas menyebutkan sumber otentik, yakni URL dari blog saya. Dan, untuk yang seperti ini, saya kira sah adanya, sehingga orang yang bersangkutan tak bisa disebut plagiat atau penjiplak, meski tidak mengajukan ijin/pemberitahuan kepada saya.
Jujur, dari tulisan-tulisan dan foto-foto yang menyertainya di blog, saya pernah memperoleh banyak manfaat. Salah satunya, ada seorang produser/maesenas seni pertunjukan asal Belanda yang menjalin korespondensi dengan saya, lantas dilanjutkan dengan pertemuan informal. Ia mengaku tertarik dengan kritik-kritik saya terhadap sejumlah karya pertunjukan dari sejumlah seniman Indonesia. Malah, karya-karya foto saya dimintanya untuk dipamerkan di Belanda, melalui sebuah forum dan di gedung pertunjukan yang setahu saya, cukup ternama dan tepercaya.
Melalui postingan ini, saya berharap teman-teman berkenan berbagi catatan dan memberi masukan, supaya saya bisa memiliki lebih banyak bekal untuk diskusi, yang rencananya, membuat semacam panduan, kode etik, atau apapun namanya, yang intinya berupa penyikapan terhadap media baru dengan pendekatan Internet. Tentu, diskusi mendatang tak ingin terburu-buru, lantas mengklaim sebagai ‘pemilik otoritas’ membuat kode etik atau apapun namanya.
Justru masukan dari banyak pihaklah yang nantinya akan menyempurnakan, sehingga tidak merugikan siapapun, bahkan sebaliknya, justru memberi manfaat. Yang pasti, kami semua hampir sependapat, kebebasan berekspresi harus dijamin undang-undang, sebab konstitusi manapun, sepanjang bangsa itu beradab, selalu menjamin hak-hak individu. Konstitusi kita, UUD 1945 tegas menjamin itu, begitu pula lembaga sekaliber Perserikatan Bangsa-bangsa.
Bahwa dalam produk turunan konstitusi masih banyak celahnya, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memasang jebakan pidana dan pengebirian kebbebasan berekspresi lewat Pasal 27 ayat 3 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), itu perkara lain, yang harus kita perjuangkan bersama-sama, agar ia lenyap dari sana.